JAKARTA – wartaekspres.com - Suatu berita mengejutkan soal PT Freeport Indonesia (FI). Kabarnya perusahaan tambang raksasa itu dilaporkan memproduksi serta mengekspor uranium sejak delapan bulan silam. Tindakan PT. Freeport Indonesia (FI) yang telah melenceng jauh dari kontrak karyanya ini, bukan merupakan hal yang baru, pasalnya perusahaan raksasa ini hanya diketahui menambang tembaga, sedangkan emas, batu bara dan bahan tambang non migas lainnya baru diketahui publik pada tahun 1990-an.
Kali
ini, sebagaimana diberitakan Harian Bintang Papua, perusahaan Amerika yang
sudah beroperasi di Papua sejak tahun 1964 itu kembali mengulang sejarah dengan
melakukan penambangan Uranium tanpa sepengetahuan Pemerintah, dan publik Papua.
Hal ini membuat DPR Papua naik pitam, pasalnya dari hasil tambang yang dikeruk
perusahaan raksasa dunia itu, pemerintah dan rakyat Papua hanya kebagian Rp 30
miliar. Freeport diduga menggali bahan baku uranium secara diam-diam sejak
delapan bulan silam.
Hal
itu diungkap oleh Yan Permenas Mandenas S.Sos, Ketua Fraksi Pikiran Rakyat
Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Papua kepada Antara di Jayapura, Selasa
(13/7), di ruang kerjanya. Ia menjelaskan, “Kegiatan ini dilakukan secara
tersembunyi dan telah berlangsung cukup lama”
Anggota
Komisi C DPR Papua itu menambahkan, Freeport telah mencuri hasil kekayaan
masyarakat Papua dan membohongi Pemerintah dengan hasil tambang yang disalurkan
lewat jaringan pipa-pipa bawah tanah.
“Ini
namanya pencuri, PT Freeport sudah lakukan pencurian, karena diam-diam
memproduksi Uranium yang tidak ada dalam kontrak kerja,” katanya.
Informasi
ini menurutnya, didapatkan dari sejumlah masyarakat dan karyawan Freeport di
Timika. Dijelaskannya, “Selain karyawan dan masyarakat, saya juga mendapat
laporan dari sumber yang dapat dipercaya,” jelasnya.
Hal
ini sangat disayangkan mengingat pajak yang didapatkan dari perusahaan emas
terbesar didunia ini, hanya berjumlah Rp 30 milyar pada tahun lalu. Mandenas
juga mengeluhkan, bahwa Dewan belum bisa bergerak karena terkendala masalah
klasik, yaitu belum ada alokasi dana untuk turun ke lapangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar