Oleh: Agung Firmansyah
wartaekspres.com - Dalam praktik di dunia peradilan sering kali ditemukan prinsip keadilan hukum kalah dengan prinsip kepastian hukum, yang menjadi mahkota bukan keadilan akan tetapi kepastian hukum. Padahal setiap putusan hakim wajib diawali dengan kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang mempunyai makna, bahwa hakim harus menjadikan keadilan sebagai spirit utama dalam seluruh bagian putusan, keadilan harus di atas yang lainnya termasuk di atas kepastian hukum. Keadilan dijadikan sebagai pisau analisis dalam setiap tahapan putusan, mulai dari tahap konstantir, tahap kualifikasi dan tahap konstituir”.
Ahmad Zaenal Fanani, (Hakim Pengadilan Agama).
Dari pemaparan pak Ahmad Zaenal
Fanani itulah, penulis menguraiakan secara singkat, bahwa dalam ilmu hukum
terdapat beberapa aliran, namun pada umumnya menyepakati bahwa tujuan hukum ialah
“keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.” .
Hakim dituntut melihat suatu perkara
secara objektif, bahwa setiap putusan memiliki nilai kemanfaatan dan tidak
melepaskan diri dari hukum yang telah disepakati bersama, dengan harapan bahwa
hukum yang telah diwujudkan dalam bentuk putusan membawa keadilan bagi para
pihak.
Dikotomi antara “kepastian hukum dan keadilan
hukum” sering menyeret para hakim dalam pusaran perdebatan dengan argumentasi
yang kesemuanya terlihat rasional. Hakim beraliran “kepastian hukum”, melihat
pasal-pasal dalam undang-undang merupakan suatu redaksi kalimat yang tidak
dapat ditafsirkan secara gramatikal, di sini tugas hakim semata-mata menerapkan
hukum (Bld.: rechststoepassen) sekalipun undang-undang itu dirasa tidak adil,
demi terjuwudnya kepastian hukum.
Lain halnya hakim yang beraliran
“keadilan hukum”, argumentasi mereka antara lain mengatakan undang-undang
tidaklah tepat dilihat sebagai sesuatu yang lenkap sehingganya jika terjadi
peristiwa konkrit, dimana hukum belum mengatur atau tidak konkritnya
undang-undang yang ada maka hakim diberikan kewenangan untuk membentuk dan
menemukan hukumnya.
Aliran “keadilan hukum” ini(lah)
yang menghargai hakim sebagai manusia yang memiliki hatinurani lalu memberikan
ruang untuk berinovasi melalui daya nalar interpretasinya dan berfikir untuk
menerapkan hukum yang hidup dalam masyarakat dengan pertimbangan kondisi masyarakat
atau individu tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar